Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, dokter, dan relawan mengimbau masyarakat Solo untuk berhenti memberikan stigma atau cap negatif kepada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan keluarganya. Hal ini karena stigma tersebut masih sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Setyowati selaku Sekretaris DKK Solo menyatakan bahwa hingga pertengahan 2024, jumlah ODGJ dengan kategori berat di Solo mencapai 682 orang. Sementara itu, Kementerian Kesehatan menargetkan setiap daerah untuk mendata dan menangani setidaknya 1.001 ODGJ. Artinya, Solo masih kurang 319 ODGJ yang seharusnya bisa ditangani.
Menurut Setyowati, salah satu penyebab belum tercapainya target tersebut adalah stigma yang diberikan kepada ODGJ dan keluarganya, sehingga mereka enggan melapor.
“Di lapangan, kami bersama petugas Puskesmas mengalami kesulitan dalam pendataan dan penanganan ODGJ karena banyak keluarga yang menyembunyikan, enggan melapor, atau bahkan menitipkan ODGJ ke luar daerah. Keluarga-keluarga tersebut takut mendapat stigma negatif dari masyarakat,” jelasnya.
Hal ini, menurut Setyowati, menyulitkan penanganan dan pemberian layanan kesehatan kepada ODGJ. Padahal, jika ODGJ tidak mendapatkan penanganan yang baik dari petugas kesehatan, dampak negatifnya bisa cukup besar.
“Sayangnya, tidak semua keluarga mampu merawat ODGJ. Kebanyakan dari mereka membiarkan ODGJ terkunci di dalam kamar atau membatasi ruang geraknya yang justru memperburuk stres ODGJ. Selain itu, mereka sering dikucilkan oleh warga dan dijadikan bahan lelucon,” tambahnya.
Dia berharap warga Solo yang memiliki keluarga atau saudara ODGJ agar melapor ke Puskesmas terdekat. Tidak perlu malu atau takut, karena ODGJ akan mendapatkan penanganan sesuai prosedur dan gratis.
Aliyah Himawati selaku Dokter Spesialis Kejiwaan di RSJD Dr. Arif Zainuddin, Jebres, Solo menyatakan bahwa stigma dan pengucilan terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) masih terjadi. Padahal, menurutnya, gangguan jiwa bukanlah aib melainkan penyakit yang dapat disembuhkan.
“Jika ODGJ menerima stigma negatif dari lingkungan, mereka tidak akan sembuh, malah penyakitnya bisa semakin parah. Selain obat, kesembuhan ODGJ juga membutuhkan dukungan keluarga dan masyarakat. Jadi, hentikan memberi cap buruk kepada ODGJ,” jelasnya.
Septian Reza sebagai Ketua Relawan Peduli ODGJ Soloraya menambahkan bahwa selama menangani pasien ODGJ, masih sering ditemui keluarga yang merasa takut diketahui tetangga bahwa ada anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Akibatnya, keluarga tersebut tidak melapor dan membiarkan ODGJ tinggal di rumah tanpa perawatan yang layak.
Reza juga memberikan contoh bahwa saat timnya menjemput ODGJ di beberapa daerah, keluarga sering meminta untuk dilakukan pada malam hari agar tidak ketahuan tetangga.
“Contoh-contoh nyata ini menunjukkan bahwa stigma dan anggapan bahwa ODGJ adalah aib masih ada di masyarakat. Semoga hal ini segera dihentikan karena tidak menyelesaikan masalah dan malah membuat pasien ODGJ serta keluarganya semakin tertekan,” katanya. (IND/SAN)